Chaplin dan Absurditas Kehidupan Modern
Terkejut. Itulah yang pertama kali saya rasakan ketika menonton film Charlie Chaplin, Modern Times. Bagaimana tidak, pada scene pertama saja aroma filsafat dan kritik sosial telah kental termuat di dalamnya. Dalam pembukaan film tersebut, Chaplin menyajikan cuplikan segerombolan domba yang segera berubah menjadi kumpulan manusia, tepatnya para pekerja pabrik.Saya pribadi tak tahu-menahu bagaimana sebenarnya latar belakang Chaplin berikut film-film yang dibuatnya, hanya saja, tak mengherankan jika filmnya yang satu ini mendapat tempat tersendiri di antara para filsuf dan pemikir-pemikir sosial. Sebelumnya, saya memang kerap menemui kajian filososfis dan sosiologis atas Modern Times, dan barulah ketika menontonnya, saya paham akan pentingnya film ini sebagai bentuk representasi kehidupan manusia modern yang sesungguhnya. Bahkan, filsuf sekaliber Jean Paul Sartre pun tak segan menjadikan judul film ini sebagai nama majalah yang diterbitkannya, Les Temps Modernes—dalam bahasa Perancis.
Sebagaimana peran-peran yang kerap dilakoni dalam berbagai film sebelumnya, dalam Modern Times Chaplin kembali berperan sebagai seorang “bohemian”. Ia hidup menggelandang di jalan, miskin, sekedar memiliki satu stel pakaian yang melekat di tubuhnya, namun tetap tersenyum dan menikmati-baik-buruk segala sesuatu yang menimpa dalam kehidupannya. Singkat kata, ia adalah manusia tanpa beban! Problem utama yang tersirat dalam Modern Times adalah ketidakmampuan Chaplin dalam menyamakan “cara” dan “gaya” hidupnya dengan ritme kehidupan manusia modern. Ia menjadi “gila” ketika melakukan pekerjaan yang monoton dalam pabrik. Selepas keluar dari Rumah Sakit Jiwa, ia mendekam di penjara karena suatu kesalahan yang tak disengaja. Lucunya, ketika masa penahanan-nya telah habis, Chaplin memilih untuk tetap tinggal di penjara, agaknya sikon penjara dirasanya lebih nyaman ketimbang “kehidupan aneh” di luar sana.
Kembali mendapatkan kebebasan yang tak diharapkannya, Chaplin mencari kerja guna bertahan hidup sealakadarnya. Namun, lagi-lagi ia mengacau dan kudu hengkang dari pekerjaannya. Berbagai cara pun digunakannya untuk dapat kembali ke penjara setelahnya; makan tanpa membayar, mengaku mencuri sesuatu, dsb. Beruntung, dalam suatu insiden di jalan, ia bertemu seorang wanita cantik yang memotivasinya untuk hidup mapan. Mereka berdua pun bermimpi memiliki rumah besar suatu hari nanti, lengkap dengan perabotnya yang bagus-bagus. Namun, pada suatu titik keduanya sadar bahwa tak mungkin untuk mewujudkan impian-impian tersebut. Di samping karena Chaplin yang cepat atau lambat bakal membuat kekacauan lagi dan dipecat dari pekerjaannya, faktual sang teman wanita adalah buron polisi yang telah lama dicari atas suatu kesalahan yang tak dilakukannya. Selepas bebas dari penjara—wanita tersebut pada akhirnya dibui—mereka berdua, didorong akan keyakinan “absurd-nya” kehidupan masyarakat modern, bersepakat untuk jauh meninggalkan kota. Film ini ditutup dengan adegan keduanya menyusuri jalan panjang nan sepi meninggalkan hingar-bingar keramaian kota—meninggalkan ritme kehidupan masyarakat modern yang aneh, monoton dan membuat “gila”…
Sedikit tentang Absurditas
“Absurditas” adalah suatu terminus yang kerap digunakan para filsuf eksistensialis guna menggambarkan betapa “anehnya” kehidupan di dunia ini—terutama kehidupan modern yang ditasbihkan sebagai “penjara besar” kebebasan manusia. Satu di antara mereka yang ajeg menggunakan istilah tersebut dalam karya-karyanya adalah Albert Camus. Filsuf kenamaan Perancis tersebut—yang juga sahabat Sartre—menegaskan bahwa pada kenyataannya kehidupan di dunia ini adalah tanpa tujuan. Manusia tiba-tiba lahir, “mengada” di dunia dan wajib mengikuti serangkaian aturan berikut norma yang ada dalam masyarakatnya, sedang apakah ia meminta untuk dilahirkan?
Dalam Mite Sisifus, Albert Camus mengemukakan bahwa absurditas kehidupan lahir akibat kejenuhan manusia akan keteraturan aktivitas hidupnya. Mula-mula, apa yang dikerjakannya adalah sesuatu yang dirasa bermakna, sebentuk keasyikan tersendiri, namun lambat-laun, dengan alur dan pola yang selalu sama, makna dari apa yang dikerjakannya pun bakal kian kabur, hingga akhirnya hilang sama sekali. Pada momen ini, Camus melontarkan sebuah pernyataan provokatif, “Apabila hidup sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap di jalani?”. Ia mengacu pada mitologi klasik Yunani di mana Sisifus yang dihukum para dewa untuk membawa batu ke puncak bukit, menggelindingkannya kembali ke bawah dan membawanya kembali ke atas, terus dan berulang-ulang, menemui ke-tidakbermakna-an dalam hidup yang dijalaninya. Oleh karenanya, pantaskah manusia menjalani kehidupan layaknya Sisifus, cetus Camus.
Dalam Modern Times, Chaplin menjatuhkan pilihan pada kehidupan yang bermakna, menolak bayang-bayang absurditas dalam kehidupannya. Ia tak mau larut dalam kehidupan manusia modern yang mekanis, kering lagi “garing”. Bagaimana dengan anda?
Sumber:
Charlie Chaplin, Modern Times, 1936.
Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta: Gramedia.
Proudly Presents By: Wahyu Budi Nugroho
Proudly Presents By: Wahyu Budi Nugroho
1 komentar:
"Apabila hidup sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap di jalani?" — Albert Camus
Wow, kalimat yang begitu introspektif. Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya, salah satunya apakah bentuk penurunan makna itu bersifat interpersonal atau intrapersonal. Apakah seseorang yang berkecimpung terlalu dalam dan tanpa henti dalam kehidupan sosial akan mengalami hal itu, ataukah penurunan makna itu dapat dihindari dengan keseimbangan antara hidup bersosial dengan hidup menyendiri yang introspektif?
Saya punya asumsi bahwa setiap individu memiliki "will" tersendiri untuk membuat hidupnya bermakna, atau cenderung menyatu dengan keteraturan yang ada.
Post a Comment